Ibnu Syabramah berkata,
Saya dan Abu Hanifah pernah menemui Ja’far Ash-Shaddiq. Saya memperkenalkan Abui Hanifah kepada beliau. "Kenalkan, ini temanku. Ia adalah salah seorang fuqaha Iraq".
Mendengar itu beliau lalu berkata, "Apakah ia yang menganalogikan agama dengan nalarnya? Apakah ia Nu’man bin Tsabit?"
Saya tidak tahu siapa nama sebenarnya dari Abu Hanifah sehingga saya hanya bisa diam ketika beliau menanyakan itu. Akan tetapi Abu Hanifah kemudian berkata, "Ya, saya adalah Nu’man bin Tsabit, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik kepada Anda".
Setelah itu beliau berkata kepada Abu Hanifah, "Bertaqwalah kepada Allah dan jangan engkau menganalogikan agama dengan nalarmu karena orang pertama yang melakukannya adalah Iblis ketika ia mengatakan aku lebih baik dari Adam. Engkau menciptakannya dari tanah, sedangkan aku Engkau cipttakan dari api. Ketahuilah Iblis telah salah dalam analoginya hingga ia akhirnya tersesat".
Abu Hanifah hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Imam Ash-Shaddiq. Beliau lalu melanjutkan, "Apakah kamu pernah mencoba melakukan analogi dengan kepala dan tubuhmu?"
"Tidak," jawab Abu Hanifah.
"Kalau begitu, coba beritahukanlah kepadaku mengapa Allah menjadikan air mata itu asin sedangkan kotoran telinga pahit? Mengapa Allah menjadikan hidung berair dan menjadikan rasa tawar pada dua bibir?"
"Saya tidak tahu," jawab Abu Hanifah.
"Ketahuilah, Allah menjadikan itu semua sebagai karunia bagi hamba-hamba-Nya. Dua mata adalah lemak yang jika tidak asin maka ia akan meleleh. Sedangkan telinga sangat rawan dimasuki oleh binatang kecil sehingga jika tidak pahit akan menggigitnya. Adapun hidung adalah untuk menghirup bau yang harum sekaligus yang busuk sehingga jika di sana tidak ada air, semua itu tidak akan bisa tercium. Sedangkan dua bibir adalah untuk makan. Jika tidak tawar, maka rasa makanan tidak akan bisa tercicipi".
"Sekarang, beritahu kepadaku kalimat yang awalnya adalah syirik akan tetapi akhirnya adalah iman?"
"Saya tidak tahu," jawab Abu Hanifah.
"Kalimat tersebut adalah, ‘Laa Ilaaha Illallaah," beliau memberitahukan.
"Kalau begitu, beritahukanlah aku manakah yang lebih besar dosanya antara membunuh atau berzina?"
"Membunuh," jawab Abu Hanifah.
"Jika demikian, mengapa Allah menerima dua saksi untuk kasus pembunuhan, sedangkan dalam kasus perzinahan harus ada empat orang saksi?"
Abu Hanifah terdiam mendengar pertanyaan beliau. Karena Abu Hanifah tidak bisa menjawab, beliau melanjutkan: "Manakah ibadah yang lebih baik, shalat atau puasa?"
"Tentu saja shalat," jawab Abu Hanifah.
"Kalau begitu, mengapa Allah mewajibkan untuk mengganti puasa bagi perempuan haid, akan tetapi Allah tidak memerintahkan untuk mengganti (mengqadha) shalat?"
Kali ini pun Abu Hanifah hanya terdiam dan tidak bisa menjawab.
Setelah itu beliau melanjutkan, "Bertaqwalah kepada Allah, jangan pernah mengatakan dalam masalah agama dengan nalarmu karena kami semua di hadapan Allah nanti akan mengatakan firman Allah atau sabda Rasulullah, sedangkan kamu dan teman-temanmu akan mengatakan, menurut kami. Sungguh Allah adalah Dzat Yang Kuasa melakukan apa yang Dia kehendaki. Dengarkan jawaban dari pernyataan saya tadi. Dituntutnya lebih banyak saksi dalam kasus zina karena tujuannya untuk menutupi, sedangkan gugurnya shalat bagi orang haid karena kuantitasnya yang banyak dan berulang-ulang sehingga sangat pantas diberikan keringanan".
(Sumber: 215 Kisah yang Meneguhkan Iman, Mitra Pustaka. Terjemah An-Nawadir, karya Syeikh Syihabuddin Al-Qalyubi)