Syeikh Ali Al-Khawwash pernah berkata, “Tidak jarang wali Allah yang berada di bawah cengkeraman istrinya. Mereka seringkali menerima ucapan dan sikap menyakitkan dari istri mereka.”
Tokoh sufi berada di bawah tekanan istri: ada yang aslinya memang seperti itu, ada pula yang disengaja untuk seperti itu. Maksudnya, si sufi memang sengaja memilih wanita yang judes sekaligus buruk rupa karena sebuah tujuan mulia, yaitu untuk menempa diri atau untuk menghindarkan orang lain dari keburukan wanita tersebut.
Syeikh Nuruddin Asy-Syauni, mursyid majelis shalawat di Mesir, bercerita tentang pengalamannya dengan Syeikh Ustman al-Hatthab, ulama sufi yang masih tetangga dekatnya. Di suatu malam yang sangat dingin Syeikh Nuruddin keluar untuk berwudhu. Di jalan menuju tempat wudhu, beliau mendapati seseorang yang sedang rebah berselimut. Asy-Syauni menghampiri orang itu, lalu menggoyang-goyang tubuhnya.
“Siapakah gerangan?” tanya Asy-Syauni.
“Utsman.”
“Ya Sayyidi. Mengapa Tuan tidur di sini?”
“Ummu Ahmad mengusirku dari rumah.”
Apakah orang setingkat Syeikh Utsman Al-Hatthab begitu takut kepada istrinya. Tentu saja tidak. Syeikh Utsman Al-Hatthab bukan tipologi ‘suami yang takut istri’. Beliau bertahan dengan istrinya yang pemarah, karena beliau termasuk tipologi ‘suami yang sabar memperlakukan istri’. Boleh jadi, beliau ingat dengan kisah Sayyidina Umar bin Al-Khatthab yang diam saja ketika istrinya marah-marah. Atau, dengan hadits-hadits Nabi yang berpesan agar kaum lelaki memperlakukan istri-istrinya dengan baik.
Syeikh Ali Al-Khawwash, pencetus maqâlah di atas, termasuk tokoh sufi yang sering menjadi ‘korban’ dari sang istri yang masih sepupunya sendiri. Imam asy-Sya’rani memiliki banyak cerita mengenai hal itu dalam kitabnya, Lawâqih al-Anwâr Al-Qudsiyyah. Bagi Syeikh Ali, tidak disapa oleh istrinya sampai berbulan-bulan, sudah merupakan hal yang sangat biasa. Bahkan, beliau pernah melakukan perjalanan dari Mesir ke Hijaz bersama sang istri. Sejak berangkat hingga pulang, sang istri tidak menyapa sepatah katapun kepada Syeikh Ali Al-Khawwash.
Pernah suatu ketika Syeikh Ali meminum air menggunakan gelas yang biasa dipakai oleh istrinya. Melihat hal itu sang istri berang dan mendamprat Syeikh Ali. Lalu, dia menggosok bekas mulut Syeikh Ali di gelas itu karena tidak ingin mulutnya menyentuh bekas mulut Syeikh Ali. Selama lima puluh tujuh tahun menikah, Syekh Ali tidak pernah dalam satu malam pun tidur dengan sang istri dalam keadaan akur. Namun demikian, mereka tetap hidup serumah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Demikian cerita Imam Asy-Sya’rani tentang salah satu guru spiritualnya itu.
Ini adalah anomali, tapi anomali yang positif. Menurut Imam Asy-Sya’rani, pada dasarnya, kita diperintahkan untuk memilih istri yang lembut, bersikap menyenangkan serta subur dan produktif. Rasulullah bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah wanita yang subur dan menyayangi (suaminya) karena aku akan berlomba-lomba melalui kalian dengan para nabi di hari kiamat (dalam hal jumlah umat).” (HR. Ibnu Hibban dari Anas bin Malik)
Standar syariatnya seperti itu. Nikahilah wanita yang berbudi pekerti baik agar kita benar-benar merasakan keberadaan istri sebagai anugrah, sehingga kita terdorong untuk bersyukur. Jika seseorang menikah dengan wanita yang judes atau buruk rupa, maka sangat mungkin dia akan menganggap keberadaan istri tersebut sebagai petaka. Hal itu berpotensi besar menyebabkan dia merasa tidak rela dengan takdir jodohnya. Maka dari itu, syariat memerintahkan kita untuk menikahi istri yang berpenampilan menarik dan bersikap menyenangkan di hadapan suami.
Akan tetapi, kata Imam Asy-Sya’rani, memang ada kalangan sufi yang sedang dalam maqam riyâdhatun-nafsi (menempa diri), sehingga dia sengaja memikul beban-beban kesengsaraan untuk melatih ketahanan dirinya. “Untuk konteks ini, tentu hukumnya berbeda,” tegas Imam Asy-Sya’rani dalam Lawaqih al-Anwar.
Menurut beliau, memang ada sebagian tokoh sufi yang ‘gemar’ menikahi wanita-wanita yang bermuka buruk atau bersikap judes. Dia membetahkan diri untuk berumah-tangga dengan wanita tersebut selama puluhan tahun. Mengenai pilihannya itu dia berkata, “Aku lebih berhak untuk mendapatkan dia. Biarlah wanita ini menjadi beban di pundakku, agar tidak menjadi beban bagi saudara-saudara muslimku yang lain.”
Dalam kisah yang sangat masyhur, seperti disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kaba’ir, ada seorang syeikh yang selama bertahun-tahun begitu sabar menghadapi istrinya yang sangat judes. Sehari-hari dia bekerja mencari kayu bakar ke hutan. Ajaibnya, setiap kali pulang dari hutan, dia selalu diantar oleh singa yang memikul kayu-kayu tersebut di punggungnya hingga ke halaman rumah.
Syahdan, ketika istrinya yang judes itu meninggal dunia, dia menikah lagi dengan seorang wanita yang shalehah dan bersikap menyenangkan. Tentu saja, rumah tangganya berubah menjadi menjadi sangat indah dan penuh ketentraman. Namun anehnya, ketika Syeikh tersebut mencari kayu ke hutan, sudah tidak ada lagi singa yang datang dan takluk di hadapannya. Sehingga, dia harus bersusah payah memikul sendiri tumpukan kayu bakar tersebut.
Syeikh itu memiliki seorang teman yang sering berkunjung ke sana. Dia merasa heran dengan perubahan tersebut dan menanyakan hal itu. Syeikh itu menjawab, “Dulu, saat hidup dengan istriku yang pertama, aku merasakan kesengsaraan yang luar biasa, tapi aku menghadapinya dengan penuh kesabaran. Maka, Allah menaklukkan singa itu untukku, sebagaimana yang telah biasa engkau lihat. Namun, ketika aku menikahi istriku yang shalehah ini, hidupku penuh dengan ketentraman. Akibatnya, singa itu sudah tidak datang lagi padaku.”
Karena itulah, ada beberapa wali Allah yang terlihat sangat sabar menghadapi istrinya yang judes, sekali lagi bukan karena takut pada istri, tapi sebagai bentuk tirakat dalam upaya melatih ketahanan diri. Dan, penempaan diri tersebut bagi mereka tidak hanya berlaku dalam urusan istri, tapi juga dalam hal-hal yang lain.
Menurut Imam Asy-Sya’rani, kadangkala mereka sengaja membeli keledai yang sulit dikendalikan, juga keledai yang sangat lambat dalam berjalan. Sehari-hari mereka merawat dan menungganginya dengan penuh kesabaran, tanpa merasa kesal sedikitpun, apalagi sampai memukulnya. Bahkan, kata Imam Asy-Sya’rani, jika dia disalahi oleh orang, maka dialah yang justru datang meminta maaf. “Maafkan saya, sayalah yang bersalah, bukan Anda. Seandainya saya menuruti apa yang Anda mau, tentu saja Anda tidak akan memaki saya,” katanya.
Wallahu a'lam bish-shawab
Sumber: http://sidogiri.net/